Admin
12/17/20, 12/17/2020 WIB
Last Updated 2021-07-18T22:02:30Z
Sekitar Kita

Kasti: Olahraga dan Sebuah Kearifan.

Pinterest.com


Saat-saat menyenangkan adalah menyaksikan anak-anak sedang riang dan tergila-gila dengan permainan Bola Kasti. Permainan yang dilakukan dua kelompok, menggunakan bola tenis sebagai alat untuk dimainkan. 


Sebuah permainan yang dimodifikasi dari olahraga kasti atau gebokan. Kita selalu tahu, bahwa dalam perlakuannya permainan kasti tidak hanya memerlukan tingkat kerjasama dan keakuratan yang tinggi. Lebih dari itu, Kasti adalah fantasi, membangkitkan asa, seseorang bisa mengasah dirinya. 


Maka Kasti tidak hanya sebatas permainan lempar tangkap bola semata, Kasti adalah pergelaran, kasti menjadi panggung yang mempertontonkan kearifan dan kebesaran jiwa. Kasti adalah permainan yang mengasah karakter dan kerendahan hati, yang akan kita temui darinya adalah ketenangan dan sikap terbuka. 


Anak-anak itu melakukannya ditengah-tengah jalan setapak, disaksikan pasang mata ibu-ibu yang baru saja selesai memasak soreh itu. Mulanya, mereka bersepakat membentuk dua regu terpisah, satu regu terdiri dari tujuh sampai sepuluh orang, lalu setelahnya mendirikan tiang-tiang yang akan di jadikan pos atau tempat singgah. Kedua regu bersepakat, regu mana yang akan memainkan bola terlebih dahulu sebagai pemain serang, sedangkan regu yang tersisa menjadi lawan atau pemain jaga. 


Pemain jaga berjaga dilapangan untuk mencoba menangkap pukulan pemain serang. Ketika bola terpukul pemain serang berlari ke pos pertama atau pos singgah, lalu berlari ke pos terakhir. Sebelum akhirnya kembali berlari "pulang" ke "rumah", tempat semula yang dibatasi dengan sepanjang garis.


Aturannya adalah, jika pemain yang sedang lari menuju pos atau pulang dapat digebok dia dinyatakan mati dan kedua regu berganti. Regu serang jadi regu jaga dan sebaliknya.


Entah apa yang menarik dari permainan ini, tetapi disepanjang patahan ingatan-ingatan yang membekas, melihat riuh ramai anak-anak, teriakan, ketegangan penonton, ku pikir Kasti adalah refleksi sebuah kebahagiaan.


Tahun 90-an, sekiranya permainan ini pernah jadi trendy dan marketop. Di permainkan semua kalangan anak. Seakan, kesetaraan gender, nilai-nilai saling menghargai sudah terpatri sejak lama disini. Digambarkan dari permainan ini, tak peduli cowok atau cewek, mesti harus berkemampuan seimbang dan sama. Kadang, tak jarang bahkan banyak anak cewek yang lebih jago dan hebat memainkan Kasti. Memukul, melempar dan berlari sekencang-kencangnya. 


Sekeping kenyataan, dikampungku permainan Kasti itu kolosal, sebab selalu saja jadi magnet bagi semua orang. 


Ketika bola dipukul, melayang-layang, Kasti adalah Dunia. Dimana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tetapi pada akhir.” Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang berasal dari usaha, efisiensi, atau kalkulasi. 


Di zaman modern yang benci terhadap usaha, ikhtiar dan nasib ini, Kasti mengharuskan kita untuk terus berlari. Berpindah dari post satu ke post lainnya. Singgah, lalu kembali pulang. Seakan, kesungguh-sungguhan adalah kunci atas pencapaian hebat regu yang dimulai dari individual masing-masing pemain.


Usaha disini adalah kunci dari semuanya, khususnya dalam hal memainkan Kasti, dalam memanfaatkan waktu. Kasti tidak harus dipandang sebagai “permainan yang berlari-lari kesana kemari.” Tapi juga bermain dalam kecerdikan, yang berarti adalah mengambil posisi alias positioning. Jadi bukan terletak pada seberapa banyak pukulan dan lemparan yang dilakukan, atau kemenangan yang tidak selalu membuat seseorang menjadi kesatria.


Justru dengan berlari sebanyak-banyaknya, semua otot bergerak, melibatkan intuisi dan otak, membuat seluruh lini lapangan bermetamorfosis menjadi panggung keindahan. Kita bisa menjumpainnya dengan mudah, juga tidak mahal. Sesederhana itu kebahagiaan bisa kita tafsirkan.


Bagi saya, Kasti selalu bisa menghibur banyak orang, memperkaya khazanah kehidupan yang selalu lekat bersemayam dalam diri.



Penulis:

Rifki Tegila 

Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan Olahraga, Universitas Negeri Manado.

Editor:

Panji Datunsolang