Admin
1/19/21, 1/19/2021 WIB
Last Updated 2021-07-18T21:43:58Z
EsaiSekitar Kita

Zaman untuk Kita, Kita untuk Zaman: Adakah Ruang bagi Paguyuban?

 

Foto Usato (berarti saudara dalam term Bintauna) Fahmi Karim


Kelas sosial yang payah seperti kita ini, saya dan Panji, tidak berolahraga dengan gaya leisure class. Kita hanya bisa mengakses olahraga yang seadanya; memperolehnya tidak mahal, ruang untuk bermain pun tidak butuh uang banyak. Kita bermain bulu tangkis. Olahraga ini tidak lebih murah dari sepak bola; suatu olahraga lintas kelas. Atau olahraga lari. Hanya butuh sepatu. Lagian, olahraga apa yang tidak butuh uang? Jika baku hantam masuk, ada juga biaya pengobatannya, sekedar beli minyak tawon.


Setelah selesai bermain bulu tangkis (kira-kira saat sholawat tahrim dari pengeras suara masjid telah berbunyi), sekedar menghabiskan keringat, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Panji – berhubung dia adalah pengelola satu blok tulisan yang sering nongol di recent updates WhatsApp saya, Teras Inomasa. Bau namanya bau daerah.


Apa yang kalian tuliskan di blog itu? Pokok temanya apa?


“Soal-soal kedaerahan,” Panji menjawab dengan hati-hati. Pikirnya seperti pertanyaan Sokrates.


Saya tidak perlu mempersulit percakapan, sekedar bertanya apa yang dimaksud “kedaerahan” dengan “ke” dan “an”-nya. Kategori apa yang membuat sesuatu itu identik dengan ke-daerah-an. Perdebatan ini di Abad Pertengahan disebut sebagai universalia dan partikularia, dimulai dari problem filsafat Plato dan Aristoteles.


Tidak! Keringat belum kering.


Pikiran saya langsung tertuju pada “paguyuban”; suatu entitas yang disyaratkan oleh entitas lain. Adanya paguyuban dikarenakan adanya suatu daerah yang dirujuk: hukum persebaban di alam semesta. Tapi apakah iya bahwa paguyuban itu syaratnya adalah adanya daerah? Sebelum itu, apakah Indonesia adalah paguyuban?


Mengutip KBBI, paguyuban adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para anggotanya.


Menjawab pertanyaan di atas, Indonesia mestinya adalah paguyuban. Namun bedanya dengan paguyuban sekarang Indonesia lahir karena alasan sepaham: pengalaman dijajah; senasib dan sepenanggungan. Dari sini entitas Indonesia hadir; dari rasa pahit yang sama. Kondisi objektif yang sama ini membuat semangat perlawanan mencari titik artikulasi. Titik dimana perbedaan diartikan sebagai kesatuan. Indonesia muncul sebagai “bangsa”.


Apa itu “bangsa Indonesia”? Apakah benar dari kesamaan kebudayaan dan tradisi? Apa yang membuat Anda, orang Bolaang Mongondow, merasa sebangsa dengan orang Sunda? Mengapa Malaysia dan Singapura tidak masuk bangsa Indonesia? Mengapa Aceh satu bangsa dengan Papua? Bukan pulau tetangganya? Terus apa yang membuat Anda teriak-teriak soal “satu nusa dan satu bangsa”?


Yang perlu dipahami, bangsa Indonesia lahir sebagai satu imajinasi yang dibayangkan, sesuatu yang dibentuk oleh Intelektual Hindia Belanda, terus diproduksi oleh media cetak, terus dikhotbahkan, untuk suatu titik artikulasi, sebagai media perjuangan kemerdekaan. Lahir dari kondisi objektif, dengan syarat materialitas kehidupan yang sedang kacau. Lahir dari rahim kolonialisme, untuk merespon masyarakat yang sedang berkembang, untuk menginterupsi situasi yang tidak manusiawi. Itulah Indonesia.


Apakah paguyuban kita demikian adanya? Bukan revolusi, setidak-tidaknya situasi dimana kita gelisah dengan Zaman Now: era informasi, era distrupsi, pasca-industri, 4.0., pasca-fordis, kapitalisme lanjut atau neolib, terserah apa yang Anda nyaman.


Sudah gelisahkah Anda dalam paguyuban? Tidak sekedar “di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung.” Di mana kita berpijak, di situ kita bergerak!


Dari situ paguyuban menjadi penting: sejauh kita terus gelisah, sembari perlahan menambal lubang di tanah masing-masing.


Apa benar yang Anda rasakan saat tergabung di satu paguyuban adalah selalu dibuat gelisah dengan situasi daerah? Atau yang paling dasar, dari lubuk hati saya yang paling dalam, seberapa jauh kita terus mengelola titipan tradisi para leluhur yang penuh makna? Sejauh mana kita terus memproduksi atau mereproduksi karya-karya sastra para pendahulu? Atau adakah pegangan di tangan kita tentang materialisme historis daerah kita? – sebelum kita beranjak ke pergolakan Zaman Now.


Apa yang Anda dapat saat masuk paguyuban? Jika tidak dapat apa-apa, mestinya ada apa-apa.


Yakinlah, saya tidak pesimis ataupun sedikit sarkastis. Dulu saya punya jabatan penting di paguyuban daerah saya, skala kecamatan. Bukan saya tinggalkan, tapi terlanjur aktif di organisasi saya sekarang, yang nilainya sama; sama-sama untuk merespon zaman. Bedanya di skala kota, yang lebih kompleks kekacauannya.


Saya selalu menaruh harapan pada organisasi. Apalagi organisasi kedaerahan yang secara langsung dibuatnya kita berpikir spesifik dengan batasan masalahnya. Tapi mari kita sama-sama merefleksikan situasi zaman terhadap kita.


Geliat pembangunan infrastruktur sedang mengemuka di zaman kita. Pembangunan selalu meminta wilayah yang sebelumnya mungkin mempunyai kegunaan, baik mempunyai nilai bagi petani, ataupun wilayah yang mempunyai nilai spiritualitas. Ada makna, ada biaya, kata Berger. Jika terus ditarik, tema paguyuban bisa ikut masuk.


Bukan karena saya Marxis, atau anti-pembangunan. Luruskan pikiran kita: zaman komunisme masih ada model indomaret atau maret-maret yang lain. Masih ada bioskop, masih ada startup. Bedanya di metode pengelolaan.


Pembangunan terlebih dahulu harus dianalisis. Dari sini kita mulai berdebat. Tidak menerima seperti buru-buru mengamini doa imam di waktu subuh karena ingin cepat tidur lagi.


Ini satu implikasi dari imajinasi akan kota; bahwa wilayah kota adalah satu wilayah ideal yang harus terus diikuti model pembangunannya. Bagaimana kita maju adalah bagaimana mengikuti pola kota; baik pembangunan maupun pola konsumsi. Imajinasi ini yang terus menghunjam pikiran kita.


Henri Lefebvre membahas soal imajinasi kota dan urat nadi yang bergerak di balik itu; “praktik spasial” (spatial practice), suatu produksi ruang. Ini adalah sejenis “representasi ruang” (representation of space). Suatu ruang yang (seolah) kita bayangkan sebagai ruang ideal. Mirip dengan ruang yang ada di kota: estetik, efektif, efisien. Tanpa kita bertanya kenapa bergerak di arah situ dan terus ditekan. Seolah-olah ruang ini adalah ruang sebagaimana benar-benar kebutuhan setiap insan yang bernafas di permukaan bumi. Padahal, baginya, ini hanyalah suatu langkah untuk mendominasi sirkuit kapital, oleh tangan-tangan tak terlihat. Representasi ruang hanyalah ciptaan dari kelompok dominan, tidak berangkat dari pengalaman hidup rakyat, dari kalangan bawah.


Kita juga bisa menambal ini dengan mengikuti logika konsumsinya Jean Baudrillard, bahwa hyperreality yang membuat kita menjadi makhluk payah. Di balik itu ada lagi yang bekerja, dan maksud kerjanya apa.


Beberapa penelitian menganalisis desa yang perlahan hilang dari kota. Seberapa pentingkah desa? Tentulah nilainya. Seberapa penting nilai-nilai desa? Anda perlu tinggal lebih lama di kota, merasakan kita yang hidup sendiri-sendiri, asing dari sesama manusia, dan dibuat tidak berdaya dengan kebutuhannya.


Saya hanya ingin mengatakan, penting menganalisis model pembangunan di daerah masing-masing. Belum terlambat. Sejauh mana paguyuban berfungsi (jika rela dibilang demikian) bagi perkembangan wilayah masing-masing. Tidak sekadar ada karena ada daerah, tapi ada karena memang harus ada.


Kita hanya perlu peka dengan situasi. Penting untuk menengok ke tanah.

Salam kagum saya.

 


Penulis:

Fahmi Karim

(Ketua PC PMII Metro Manado)