Ersad Mamonto
12/11/22, 12/11/2022 WIB
Last Updated 2022-12-11T10:19:32Z
HeadlineHiburanSosbud

Prancis, Kolonialisme dan Sepak Bola

Foto Paris. Istimewa


Satu hal yang perlu kita lihat dan resapi adalah kehadiran peradaban di beberapa tempat menyumbangkan banyak hal, termasuk kemajuan. Nusantara diyakini bagian dari jenis peradaban yang dimaksud, walau siklus itu dipercayai muncul 7 abad sekali, Sriwijaya 7 M, Majapahit 14 M.

 

Di belahan dunia lain, eropa, peradaban hegemonitik muncul. Abad yang familiar kita sebut sebagai kolonialisme itu, tidak bukan biang penyebaranya adalah eropa. Hal seperti motif ekonomi, politik sampai ego atau pamor menyelimuti era yang dimaksud.

 

Prancis muncul satu di antara kekuatan-kekuatan itu. Sebagai satu jenis kekuatan, Perancis sebenarnya pernah menjadi tuan bagi Indonesia. Hal itu setali hubungan dengan Belanda yang sukses dianeksasi oleh Perancis abad ke 18 M-19 M.

 

Peristiwa tadi kemudian menjadikan Prancis bisa mengatur negara-negara koloni Belanda. Louis Napoleon (saudara Napoleon Bonaparte) ditugasi untuk memimpin Belanda. Hingga kemudian Louis mengutus seorang yang dikenal sebagai pemrakarsa modernisme Indonesia, Herman Willem Daendels. Walau hanya tiga tahun (1808-1811), Daendels sangat membekas dengan kebijakan yang paling dikenal hingga abad ke 20 M, yaitu pembangunan jalan Anyer-Panarukan.

 

Walau ekspansionis, dinamika cukup mewarnai negara ini. Di bawah Nazi, Jerman pernah menduduki Prancis, 1940. Tak terkira memang, kekuatan-kekuatan besar bergantian silang dan saling merebut. Kini bentuk kekuatan itu berubah bentuk, tak melulu soal perang. Ada banyak hal yang diperebutkan, misalnya, olahraga, sepak bola.

 

Sepak bola kini tak bisa dipandang sebagai permainan, wajah perebutan di era kolonialisme juga mewujud dalam olahraga ini. Dari rasional sampai selubung mitos-mitos bahkan membumbui sepak bola. Prancis yang kita tengah bincangkan ini misalnya. Banyak meyakini tim-tim yang kalah di final Euro tak mampu menembus final piala dunia. Walau takluk di final euro 2016, di tahun 2018 Les Blues mematahkan mitos tersebut dengan menjuarai perhelatan empat tahunan itu.

 

Jika pembicaraan kita diarahkan untuk melihat peta kekuatan lama dalam aroma persaingan kolonialisme, sejak Qatar World Cup ini berlangsung komentar-komentar berkaitan kerap muncul. Misalnya Prancis vs Tunisia. Siapa yang tak tahu bahwa Tunisa adalah jajahan Perancis. Saat Tunisia memenangkan pertandingan di babak penyisihan ada semacam semangat mendidih dari pertarungan itu, tak heran jika istilah yang lahir dari komentar beberapa orang bagi kemenangan Tunisia itu adalah 'revenge colonialism' atau 'sweet revenge to colonialism'. Sepertinya aroma kolonialisme memang masih kuat, atau kita menyebutnya sebagai paska-kolonial. Itu serupa dengan kejadian baru-baru ini, tatkala Rishik Sunak seorang keturunan India yang menjadi perdana menteri Inggris dilabeli dengan istilah semacamnya, 'reverse colonialism'.

 

Kini di empat besar, Prancis akan menghadapi Maroko. Keduanya juga punya semacam hubungan pasang surut di era lampau. Hal ini tak lain karena asosiasi Maroko dengan kekhilafahan yang pernah menguasai eropa, Spanyol, lebih amat terasa ketimbang Spanyol sendiri. Sebab dua negara itu kini berkelut dengan dua jenis agama berbeda. Maroko memilih Islam dan kita tahu kekhilafahan lahir dari tradisi politik Islam. Di era kekhilafahan itu pula (kisaran abad ke 8 M) pernah menginvasi Prancis Selatan. Peta berubah di abad ke 17 M, hubungan dua negara ini makin erat, itu didukung oleh perjanjian bilateral.

 

Meski banyak mengundang imaji perebutan masa lalu yang ditarik di masa kini, sepak bola tetaplah menjadi sarana pemersatu. Perasaan kebanggannya mampu melampaui nasionalisme atau semacamnya. Seorang yang berbeda negara bisa saja mendukung negara lainnya dengan banyak indikator atau alasan yang ia persepsikan. Syahdan, asosiasi politik bisa saja tetap sama membawa gempuran kelampauan, namun dewasa ini yang paling penting adalah membangun arena kolaboratif ketimbang tarung bebas. Sembari itu, mari menanti Prancis masuk final. Semoga.

 

Penulis, 

Ersyad Mamonto,

Pendukung Prancis