Ersad Mamonto
3/12/23, 3/12/2023 WIB
Last Updated 2023-03-13T06:25:01Z
Sosbud

Lontong Medan: Cita Rasa dan Sensasi Keberagaman

Foto Lontong Medan: dijelas.in  

 


Makanan pastinya adalah sebuah warna keberagaman, karena deretan lintasan indah kebudayaan bisa dibilang dapat dicapai dari puspa ragam kehadiran makanan. Keyakinan ini kuat, sebab makanan adalah hasil imajinatif dari pengetahuan yang saling berbicara antara satu kebudayaan dan kebudayaan lainnya. Untuk istilah terakhir itu, orang-orang biasa menyebutnya sebagai kosmopolitanisme.


Sebagai ciri kosmopolitanisme mungkinkah makanan bisa disandingkan dengan topik utama yang sejajar dalam pembicaraan manusia pada apa yang disebut sebagai agama atau ritus? Secara materi tentu berbeda, tetapi dalam pendudukan ide makanan adalah sesuatu yang tak terpisah dari dua hal utama yang disebutkan. Agama selalu menilik makanan dalam dua hal: yang baik dan buruk, sedangkan ritus, makanan merupakan sebuah kesatuan di dalamnya.


Kehadiran industri halal adalah jawaban dari kreativitas umat manusia mengkondisikan antara istilah agama seperti toyyibah (yang baik), dengan kelangsungan hidup karena mengkonsumsi makanan. Dengan kata lain, makanan merupakan sebuah perjuangan hidup, yang bertaut dengan kebudayaan pada umumnya.


Jika sedemikian rupa makanan adalah hal yang disebutkan itu, maka ia melambangkan ragam ekspresi budaya manusia. Di Barat Indonesia wajah itu tersaji, jenis makanan berkuah yang disebut Lontong Medan terlihat sangat ramai mengayun dalam setiap porsinya. Ada tiga jenis kuah di dalamnya: kari ayam, lodeh, dan sambal tauco. Bagi sebagian orang ada kekhawatiran melihat tiga macam kuah itu beradu, namun di luar dugaan ketiga hal yang dianggap kontras itu dipadu mengikat di dalamnya dan sangat memanjakan lidah. Apalagi makanan ini ditambahi telur yang direbus, sambal teri kacang Medan, bihun, dan pastinya lontong.


Sepertinya keberagaman itu bisa ditemui dalam makanan ini. Serupa dengan apa yang dikatakan oleh Fadli Rahman seorang sejarawan makanan, “Unity in Diversoto”. Ia mencontohkan makanan seperti soto yang merupakan sebuah kesatuan dalam keberagaman. Soto adalah puspa rupa ekspresi budaya namun mengikat semua orang dalam santapan itu.


Serupa itu, Lontong Medan adalah dua hal dalam perbincangan keberagaman ini. Pertama, sayur lodeh, tauco, dan kari ayam yang bertemu di dalamnya adalah titik temu beragam kebudayaan. Ketiga hal itu tidak datang kemudian mewujud secara otomatis menjadi Lontong Medan. Misalnya kari sebagai satu ciri khas dari masakan Asia Selatan dimodifikasi ketika sampai ke Nusantara hingga menjadi kari ayam, kemudian disatukan dengan kedua jenis kuah lainnya. Maknanya adalah ada beragam kebudayaan yang bertemu, atau secara jelas, dalam kelampauan, interaksi manusia dari berbagai penjuru dunia menciptakan Lontong Medan.


Kedua,  sebuah rasa yang mewakili beragam ekspresi. Dalam diskusi migrasi dan makanan Masimo Ferara menulis Food, Migration, and Identity, bahwa makanan adalah sesuatu yang dimakan sesuai konteks: anak-anak, dewasa dan standar baik-buruk. Karena itu ia menyebutnya makanan sebagai identitas. Seperti Mcdonald's yang menjadi identitas orang Amerika, karena itu dimakan sejak mereka kecil hingga dewasa.


Walaupun begitu, penyebutan identitas adalah sesuatu yang sangat kompleks. Seperti Lontong Medan, pembentukan identitas Medan dalam makanan ini adalah sesuatu yang perlu dijelaskan dalam beragam pendekatan. Di luar hal yang sukar itu, perlambangan ekspresi rasa adalah niscaya dalam kudapan ini. Apalagi bagi setiap orang di luar Medan yang mencicipi makanan ini, akan ada sebuah perasaan penemuan sesuatu yang baru, yang bagi budaya asal dimana dia datang tidak ada makanan tersebut. Sehingga imajinatif asing dan unik akan terkonstruksi dari rasa Lontong Medan tersebut.