Ersad Mamonto
5/06/23, 5/06/2023 WIB
Last Updated 2023-05-05T23:04:03Z
Sosbud

Maluku, Jejak Kelampauan dan Kekiniannya

Ilustrasi Maluku, https://en.wikipedia.org/wiki/File:Banda_Neira_1724.jpg 

 

Seorang profesor sejarah kenamaan asal Selandia Baru, Anthonio Reid mengulas satu buku penting tentang sejarah Maluku yang berjudul The world of Maluku : eastern Indonesia in the early modern period, karya Leonard L. Andaya (1993).  Tulisan yang terbit di satu jurnal terkenal asal Belanda (Bijdragen tot de Taal-, en Volkenkunde) itu, Reid juduli dengan Maluku Revisited. Sepertinya tampak dari pemberian judul tersebut ia ingin berseru untuk melihat Maluku lagi.

Dari komentarnya terhadap apa yang telah Andaya kerjakan, bahwa buku tersebut merupakan pekerjaan besar, terutama bagaimana Andaya melakukan studi kritik sumber yang ketat, entah dari tiga kekuatan utama yang memperebutkan Maluku saat itu (Spanyol, Portugis dan Belanda), maupun sumber-sumber dari Asia Tenggara sendiri. Terlihat amat jelas bagaimana Maluku sebagai subjek dan objek mempengaruhi perjalanan pengaruh relasi kuasa politik atas eksploitasi alam


Meski sangat berjaya di era dulu, Reid menutup ulasannya dengan mengatakan kerumitan yang ditampilkan oleh Maluku paska abad ke-16 menjadikannya negeri yang berada dalam narasi pinggiran, hingga datang Andaya mengangkatnya ke arus utama, karena berani menghadapi kompleksitas dari sejarah Maluku itu sendiri.

 

Aroma Imaji


Tidak ada bantahan untuk episode sejarah yang menjelaskan bahwa Maluku menjadi wajah dunia sejak tahun 1512. Itu tak lain karena Eropa yang menempatkannya sebagai arena tarung bebas kepentingan ekonomi-politik. Penggambaran tersebut juga menaruh perhatian setiap orang untuk menyelidiki apakah Maluku itu?. Rentetan penyelidikan itu dari yang serius sampai beberapa puspa kisah yang penuh daya imajinatif.


Jeniver Hayes mengulas dalam blognya Blog Spiceislands tentang orang eropa yang membeli rempah-rempah dari Maluku hingga 6.000 persen dari harga aslinya. Bagaimana tidak, benda yang sangat dicari-cari itu menimbulkan efek psikologis yang tiada tara. Setiap sudut dunia membicarakannya. Dari rempahlah hingga membuat Maluku sangat dikenal. Itu juga menjadikannya dua sisi belati: anugerah dan malapetaka kolonialisme. Bahkan Hayes menyebutkan, sebelum Eropa datang, 3.000 tahun Maluku telah mulai memanen dan mendagangkan rempah ke pasar luar. Tak heran dua situasi yang disebutkan tadi “anugerah dan malapetaka”, sebagai penggambaran tentang kondisi Maluku pra dan paska Eropa.


Hayes juga melihat, sangking berharganya rempah, menimbulkan mitos-mitos. Di antaranya cerita yang menarasikan pohon cengkeh selayaknya “wanita hamil” yang mesti dijaga dengan penuh kehati-hatian. Buahnya tidak boleh jatuh sebelum waktunya, itu akan menjadikannya seperti bayi yang prematur. Bahkan untuk cerita pala, ada yang meyakini harum buah itu yang semerbak dapat membuat jatuh burung Cendrawasih.


Cerita penuh tanda tanya juga cukup banyak menghantui eropa. Maluku saat itu belum dikenal dengan namanya sendiri, melainkan disebut dengan “pulau rempah”. Para pelancong Arab dan Cina yang terlebih dahulu mengetahui keberadaan pulau rempah menyembunyikan rute dan keberadaan tempat tersebut untuk alasan komersil. Akhirnya orang-orang eropa mulai mengimajinasikannya sebagai tempat yang paling diburu dan rahasia. Peristiwa Colombus yang menemukan Amerika, sebenarnya tujuan awalnya adalah pulau rempah. Entah beberapa sebab seperti yang dijelaskan Turner dalam karya monumentalnya “Sejarah Rempah...” terdapat salah duga rombongan Colombus atas Amerika yang disangka adalah Timur Jauh (Maluku). Ini wajar sebab saat itu kartografi belum berkembang pesat.


Abad itu pulau rempah memang bisa disebut sebagai arena balapan. Daya cipta akibat kontestasi itu juga menghadirkan kisah yang sulit untuk kita terka. Satu tokoh kini yang paling dikenal dalam serial kartun Spongebob, yaitu Kapten Flying Dutchman, mewujud menjadi legenda lautan, merupakan sengkarut yang ikut mewarnai kelampauan yang dimaksud. Banyak versi memang untuk menjelaskan dari mana kisah kapal hantu Flying Dutchman itu hadir. Namun satu di antara beberapa versi itu adalah dari seorang Agnes Andweg (Maatschrift University) yang menulis esai “Manifestations of the Flying Dutchman...”. Ia menduga kemunculan Flying Dutchman pada abad ke-19 M berkaitan dengan keruntuhan VOC. Namun beberapa pembacaan bisa menjadi kabur setelah abad ke-20 M kisah tersebut menjadi bahan komersil untuk iklan yang bermuatan mobilitas yang cepat.


Sesuatu yang sensasional tak absen dari tema Maluku dan rempahnya. Turner, menulis sangat kuat di bagian akhir bukunya. Kisah Magellan yang mencari Maluku dikomentari oleh seorang pendeta pribadinya Peter Martyr, dengan menyebut kesuksesan mendapatkan pulau rempah sekaligus berikutan dengan sesuatu yang jahat nan melemahkan iman.  Hal itu tidak bukan, karena rempah juga yang diyakini membangkitkan hasrat seksual. Sebuah penggambaran, bahwa kejayaan rempah beriringan dengan kekhawatiran melemahnya iman karena pincutan duniawinya.  

 

Yang Terlupa-Tertinggal


Ketika rempah menjadi komoditas terbesar abad ke-16 M – 18 M, konsekuensi terbesarnya adalah keuntungan ekonomi bagi Maluku. Beberapa kerajaan di dalamnya menjadi sangat ekspansionis karena situasi sosial politik saat itu didukung dengan pembiayaan yang mapan. Semisal Ternate yang terkenal dan (menjadi) ekspansionis juga. Kondisi ekonomi yang mapan menjadi dorongan besar bagi wilayah-wilayah di kepulauan Maluku untuk melakukan hal di luar kehendak umumnya (Sekedar tetap eksis). Reid menyebut era ini sebagai the age of commerce.


Walau menjadi pusat dunia di masanya, tatanan kian berubah. Tanda peralihan itu saat markas besar VOC berpindah dari Ambon ke Batavia, oleh Joen Pieter Z. Coen dan ia baru resmi menempati secara kuat pada tahun 1619. Dari sanalah Batavia digunakan sebagai nama resmi dan menggantikan Jayakarta. Penamaan itu sekaligus intrik kolonialisme, yang berupaya membawa keterhubungan antara negara asal dan koloninya—dengan menamakan tempat yang diduduki dari perbendaharaan istilah ‘kota’ dimana kolonialis itu berasal.


Setumpuk kosakata Maluku pun kian memudar. Bukan karena itu berasal dari proses alamiah (apa adanya), namun peralihan sengkarut kekuasaan yang berbasis teritorial. Bisa dipahami, bahwa proses perubahan itu merupakan strategi monopoli VOC. Maluku dilihat tidak strategis lagi dalam ukuran jalur lintas dagang, ditambah negeri rempah tersebut telah kuat berada di tangan perusahaan dagang tersebut. Apalagi kongsi dagang lain yang sama kuatnya juga membaca hal yang sama dengan bertempat di sana, yaitu East Indie Compagnie (EIC).


Perubahan itu bahkan berefek pada pondasi ekonomi dan politik modern, bahkan setelah Indonesia hadir. Penempatan pusat dagang VOC di Batavia, diwarisi kekuasaan setelahnya: Hindia Belanda sampai Indonesia. Hal ini makin mencerminkan sebagai corak negara paska-kolonial dengan menempatkan Jakarta bin Batavia sebagai ibu kotanya. Ketimpangan pun terjadi, menciptakan bias dikotomi antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Sebuah ulasan di tirto.id berjudul “Bagaimana Perekonomian Jawa-Sentris Tercipta?, oleh Ivan Aulia Ahsan, mengutip statistik ekonomi dari 1800-2000 yang menampilkan wilayah Barat, termasuk: Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan, menguasai 90% perekonomian Indonesia. Sebuah angka yang fantastis, dari tahunnya nampak ada hubungan langsung dengan konstruksi kolonial dahulu. Bias itu menciptakan efek psikologis. Sehingga tak heran, membaca Maluku sama seperti membaca Timur, yang diwakili oleh wajah ketertinggalan hampir di segala bidang.  


Optimisme (?)


Walau tertinggal cukup lama, penggalan cerita kelam itu berpotensi cerah. Birokrasi di Indonesia—meski masih berbenah—memperlihatkan wajah  keberpihakan. Sarana transportasi cepat mulai direncanakan dibangun di Timur Indonesia, serta pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan memperlihatkan upaya keluar dari kemelut teritori atau rotasi ekonomi sentral Asia Tenggara (Kuala Lumpur-Jakarta-Singapura), yang efek kuat peredarannya di Barat Indonesia saja (tirto.id). Namun yang perlu ditekankan adalah apakah benar, perubahan teritori juga direncanakan perluasan dan pemerataan peta ekonomi? Hal ini perlu diuji lagi.


Selain hal tersebut, satu bagian Maluku, yaitu provinsi Maluku Utara, menghadirkan wajah berseri, dengan indeks kebahagiaannya mencapai 76,34 %, tertinggi di Indonesia. Tak hanya itu puncak pertumbuhan ekonomi juga disandang oleh Maluku Utara,  27,74 %. Torehan angka yang prestisius. Namun, semangat di balik data-data itu adalah apakah berlaku merata sebagaimana adanya. Karena, bagaimanapun problem dasar itu adalah akses kesamarataan Maluku terhadap ekonomi dan politik.


Walaupun, wajah Maluku yang kian membaik dari angka-angka yang ada, sebuah ulasan di detiknews oleh Mukhtar A. Adam yang berjudul “Maluku Utara, Miskin dalam Bahagia” mengungkap ketimpangan dari sajian data statistik tersebut. Maluku Utara bisa dikatakan maju dalam sektor pertambangannya, tapi basis ekonomi lainnya seperti kopra yang mengalami penurunan berbeda jalan. Itulah kenapa Adam menegaskan bahwa konsumsi rumah tangga di sana mengalami minus. Seperti ada jarak yang berarti dalam ulasan itu antara angka-angka dan realitas kalangan masyarakat tertentu.


Sebagai pengakhiran, ritme waktu dan ruang harus tetap dipertahankan. Optimisme tetap selalu disandarkan pada tanda-tanda yang positif, sembari mempertanyakan: apakah mengalami kemajuan atau kemunduran? Di balik itulah manusia di kepulauan Maluku berpegang hidup. Sejarahnya pernah di terpa pasang dan surut. Begitupun juga, walau harapan ada, yang terpenting adalah mengelola hal itu untuk mewujud di masa sekarang, dan menata masa depan cerah.

 

Tulisan ini pernah diterbitkan di olongia.id dengan judul "Maluku, Negeri Itu" (16/12/2022)



Ersyad Mamonto,

Institute for Humanites and Development Studies (InHIDES)