Ersad Mamonto
11/15/23, 11/15/2023 WIB
Last Updated 2023-11-15T07:39:59Z
EsaiSosbud

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

 


Foto Ajoeba Saidi (Pria berpeci hitam ketiga dari kiri) dan Keluarga. (sumber: Ismail Hasan) 


Buko cukup populer di paruh awal abad ke-20 M. Wilayahnya tidak menjadi sentrum pemerintahan dalam Kerajaan Kaidipang Besar, namun ada satu magnet yang membuatnya menarik banyak macam mata untuk melirik, yaitu Ajoeba Saidi. Selain itu, kartografi di abad yang sama  dengan judul Economische Schetskaart van de Minahasa en Bolaang - Mongondou, merekam Buko sebagai salah satu pelabuhan penting di Sulawesi Utara. Setelah berkembangnya zaman, Buko kini berganti nama menjadi Pinogaluman, sebuah kecamatan paling Barat di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.


Keberadaan pelabuhan di Buko juga menjadi saksi bagaimana sepak terjang Ajoeba Saidi dalam membangun ekonomi. Sosok itu bukanlah seorang yang tinggal dalam istana, namun perannya cukup kuat untuk menggerakan roda kehidupan di Buko, bahkan di Kaidipang Besar saat itu. Ia mempunyai sebuah kapal dengan nama Tjendrawasih bermerk 602 KM 212T No. 286 KK, yang beroperasi dalam bongkar muat barang, serta membantu penyebrangan antar pantai. Kapal ini mengantongi izin yang ditandatangani oleh Raja Kaidipang Besar, Ram Soeit Pontoh, tertanggal 18 Oktober 1925.


Ihwal Ajoeba Saidi, dikenal sebagai seorang dermawan. Rumahnya, terletak di desa yang kini dikenal dengan nama Dalapuli Timur. Perkebunannya seperti kelapa, dan hasil bumi lainnya tersebar tak jauh dari rumah tersebut. Hal itu juga berlaku sama bagi ternak kepunyaannya. Dengan kekayaan seperti itu, dituturkan, bahwa pria yang berasal dari Gorontalo ini kerap bersedekah.


Kehadiran peran-peran Ajoeba Saidi ini adalah gambaran bagaimana pergantian pola ekonomi sejak abad ke-16 M, saat awal kedatangan bangsa Eropa, yang menekankan politik dagang dengan komoditi rempah, menuju abad ke-19 – 20 yang berorientasi politik produksi. Gagasan ini karena jatuhnya rempah di pasaran dan perkembangan teknologi. Bentuk-bentuknya seperti penciptaan perkebunan baru di Indonesia saat itu. Sehingganya, hal ini memungkinkan desentralisasi laba yang lebih terbuka. Artinya, membuka peluang orang luar kerajaan berperan penting dalam menciptakan kondisi sosial ekonomi yang terdesentralisasi.


Wajah ekonomi rakyat di abad itu dapat dibuktikan dengan sepenggal surat yang disimpan baik oleh ahli waris Ajoeba Saidi. Isi surat tersebut adalah persetujuan pengoperasian sebuah koperasi oleh Raja Kaidipang Besar, tertanggal 1 Januari 1926. Nama dari koperasi tersebut adalah Coopratie Boeko dengan modal pokok minimum saat itu berjumlah tiga ribu rupiah. Koperasi tersebut bersifat terbuka, dengan mengundang investor, dan apabila bangkrut, Ajoeba Saidi telah menyiapkan kelapa sejumlah 800 pohon yang telah berproduksi untuk dijadikan jaminan dan ganti kerugian.


Lebih jauh lagi, Ajoeba Saidi berperan dalam menggerakan masyarakat di luar sendi-sendi ekonomi. Sebelum mendirikan Coopratie Boeko, pada bulan Januari 1921 Ajoeba Saidi telah diangkat menjadi Sangadi (Kepala Desa) Buko oleh Raja Kaidipang Besar. Hal ini sekaligus menekankan sumbangsih yang luas oleh Ajoeba Saidi. Ia menjalankan pemerintahan di Buko, bekerjasama dengan seorang Majoor Cadato Buko bernama, J. Van Gobel.


Tahun ini (2023) salah satu saksi penting bagaimana sepak terjang Ajoeba Saidi, yaitu sebuah rumah yang pada masanya dianggap begitu mewah, telah direkomendasikan oleh Tim Ahli Cagar Budaya Kab. Bolaang Mongondow Utara, untuk menjadi Cagar Budaya. Jejak tersebut menegaskan satu bentuk tersendiri bagi sejarah di Bolaang Mongondow Utara yang didominasi oleh pembicaraan tentang sentrum raja. Peran-peran di luar kerajaan, memungkinkan menghadirkan warna baru bagi sejarah di Bolaang Mongondow Utara, sebagai sebuah sejarah sosial. Hal ini sekaligus melengkapi kompeksitas dalam kelampauan.  

 

Sumber:

Arsip Keluarga Ajoeba Saidi.

Wawancara terbatas dengan keturunan Ajoeba Saidi, Ismail Hasan. 12/11/2023.  



Penulis,

Ersyad Mamonto (Inomasa Study Club)