Admin
12/10/21, 12/10/2021 WIB
Last Updated 2021-12-09T18:32:42Z
EsaiSekitar Kita

Refleksi 10 Desember: Tentang Kemanusiaan Kita

Gambar adalah hasil jepretan penulis.


Dewasa ini, seperti kita ketahui sudah banyak sekali kasus atau permasalahan di ranah hukum khususnya Indonesia. Mulai dari kasus kekerasan, penganiayaan, pelecehan, pelanggaran HAM, dan masih banyak lagi. Tapi dalam tulisan ini sepenuhnya akan mengerucut pada pembahasan Hak Asasi Manusia yang tak berujung dan bertepi.

 

Dalam literatur-literatur yang sering kita temui, kita sudah bosan dengan bahasa bahwa “Indonesia merupakan negara hukum” seperti tercantum dalam pasal 1 ayat 3 UUD tahun 1945. Kenapa bisa dikatakan bosan? Karena kontradiktif dalam tubuh hukum itu sendiri—penegak hukum tapi melanggar hukum. Contoh sederhana sebelum memasuki masalah HAM, yaitu permasalahan hangat awal bulan Desember ini tentang kasus bunuh diri seorang wanita yang diakibatkan dari pemerkosaan oknum aparat kepolisian yang didukung oleh orang tua pihak pelaku agar korban melakukan tindakan aborsi. Namun selang beberapa hari dari kejadian itu, pelaku ditangkap dan akhirnya dipenjara. Akan tetapi masih banyak tumpang tindih di antara para pakar hukum tentang pasal-pasal yang digunakan dan persoalan lamanya pelaku ditahan. Sehingga berangkat dari kejadian ini, banyak pihak menuntut agar secepatnya disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Mungkin itu sekilas tentang salah satu kasus atau permasalahan di Indonesia.

 

Permasalahan-permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sampai hari ini tercatat masih ada 12 kasus yang belum terselesaikan. Seperti Pembunuhan Munir, Tragedi Trisakti, Pembunuhan Marsinah, Penembakan Misterius (Petrus), Tragedi Semanggi I dan II, dan beberapa lainnya. Melihat beberapa kasus yang belum terselesaikan rasanya bingung dengan kemajuan negara hari ini. Kira-kira capaian apa yang Negara lakukan selain membabat hutan, tindakan represif aparat, penggusuran, reklamasi? Mungkin ini baru beberapa dari yang tidak dicantumkan.

 

Pemerintah Indonesia semenjak terjadinya kasus pelanggaran HAM sampai hari ini yang menjadi struktur negara atau sistem kuasa, itu masih ditemukan tindakan-tindakan yang bukannya menyelesaikan kasus-kasus HAM, justru mematahkan perjuangan-perjuangan kelompok atau individu yang menyuarakan atau mengingatkan Negara terkait kasus HAM yang tidak diselesaikan. Sungguh sebuah kontradiksi. Karena bisa kita temukan disetiap aksi-aksi seperti Aksi Kamisan yang masih dilakukan di berbagai daerah, itu bukannya mendapatkan tanggapan positif, justru berujung dengan pengusiran oleh aparat, bahkan tak jarang berakhir dengan tindakan-tindakan represif.

 

Demokrasi


Jika kita menganalisa dimensi subjektif dari konsep kenegaraan, kita akan menemukan porsi yang paling definitif, bahwa Negara hari ini tetap melakukan proses transformatif, dari Orde Baru menuju Reformasi yang digadang-gadang menjadi harapan besar rakyat agar terhindarnya kasus korupsi dan juga pelanggaran HAM yang terjadi dibeberapa tahun sebelumnya. Harapan agar terhindarnya sifat otoritarianisme sehingga bisa tercapainya tujuan dari demokrasi. Juga agar beralihnya elitisme ke populisme yang di mana Negara pada dasarnya menjunjung tinggi hak dan keutamaan rakyat. Seperti adagium hukum “Salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

 

Perlu juga kita pahami mengenai konteks demokrasi itu sendiri, bahwasannya tidak semua negara menggunakan sistem demokrasi, yang dimana kekuasaan Negara terletak pada kedaulatan rakyat. Dan seperti kita ketahui Indonesia yang menganut sistem demokrasi, secara utuh mengakui bahwa HAM merupakan bagian dari hukum. Sehingga secara legal mengakui bahwa pelanggaran HAM merupakan tindak pidana. Serta Negara harus menjamin perlindungan HAM serta kebebasan setiap individu.

 

Jika kita telisik ke zaman rasionalisme modern, yang dalam hal ini Spinoza, dalam pandangan sosial-politiknya atau filsafat sosialnya, ia selalu memberikan penekanan atas kebebasan berpikir. Sehingga dikatakan dalam bukunya F. Budi Hardiman yang berjudul Pemikiran Modern, bahwa Spinoza merupakan salah satu tokoh yang merintis konsep Hak Asasi Manusia. Dari sini bisa kita kaitkan dengan kebebasan berpendapat yang ada di Indonesia dengan otoritarianismenya atau katakanlah memberikan aspirasi yang justru berujung represif. Seperti belakangan yang terjadi dalam aksi-aksi tahun ini yang berujung kekerasan dan penculikan terhadap mahasiswa dan jurnalistik.

           

Persoalan HAM

 

Bergeser pada tulisan-tulisan Hendardi mengenai kasus HAM di tahun 1997, dikatakan merupakan tahun yang paling tidak menggembirakan. Bisa kita lihat di salah satu kasus yang terjadi di Tasikmalaya yang di mana peristiwa kerusuhan terjadi, dan beberapa orang yang mengikuti kegiatan tersebut ditangkap dan dipaksa menjadi terdakwa sebagai dalang dari kerusuhan. Dengan menggunakan relasi kuasa yang begitu kuat, pemerintah bersama dengan berbagai pihak serta pengadilan memberikan vonis kepada mereka akibat tuduhan subversif.

 

Begitupula dengan beberapa kasus yang lain, seperti pembentukan organisasi, seperti pendirian Partau Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang pemimpinnya berujung ditangkap. Kasus seperti perilisan buku kritikan terhadap Orde Baru juga ditahan, dan masih banyak lagi seperti kasus wartawan yang menjadi korban tindakan aparat, yang di mana tidak terbukti sebagai pembunuh justru didakwa.

 

Sepanjang tahun 1997 tercatat dalam data kasus pelanggaran HAM oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) hingga 20 Desember 1997 Indonesia menghasilkan kasus pelanggaran HAM sebanyak 4.264, yang di mana jika dikalkulasikan per bulannya terdapat 300-400 pelanggaran HAM.

 

Salah satu kasus yang sampai hari ini memberikan kecemasan seperti hilangnya Wiji Thukul. Perlu kita bedakan perbedaan benda yang hilang dan orang hilang. Kalau benda hilang, sudah jelas kita hanya tidak tau keberadaannya. Tapi persoalan orang hilang, kita tidak dapat memastikan apakah dia masih hidup dan berada di mana. Hingga hari ini kita masih belum mendapat informasi yang jelas keberadaan orang-orang hilang. Begitupun dengan nasib korban Petrus yang hanya berujung dikabarkan media tentang kematian. Dan yang perlu dikritisi bahwa negara wajib menyelesaikan dan mempertanggungjawabkan keadilan bagi korban dan mencari pelaku atas tindakan yang terorganisir itu.

 

Jika kita lihat dewasa ini, aparat seharusnya menjamin dan memastikan keamanan dan keselamatan rakyatnya. Bukan dengan cara-cara yang represif. Karena dengan begitu, kepercayaan rakyat terhadap aparat hari ini justru berakibat tidak ada.

 

Berangkat dari segala permasalahan pelanggaran HAM yang ada di bumi pertiwi yang tidak pernah selesai, salah satu aktivis HAM yaitu Hendardi, dalam tulisannya di tahun 1996 pernah menuliskan tentang visi dan misi kemanusiaan: Pertama, negara haruslah memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk bukan saja menyejahterakan kehidupan warga negara, tapi juga membuka lebih luas kesempatan warga negara untuk menjalankan kehidupan kemanusiaannya. Kedua, pertanggungjawaban aparat-aparat negara kepada masyarakat warga negara jika memang dasar legitimasinya berasal dari rakyat.

 

Berdasarkan visi yang dituliskan Hendardi, perlu kita tanamkan sebagai usaha dalam pencegahan terjadinya kesewenangan dan pengabaian terhadap prinsip kemanusiaan yang seperti kita ketahui sering dilakukan oleh aparat-aparat negara terhadap warganya.

 

Sedangkan dalam misi kemanusiaannya, Hendardi mengatakan bahwa hal terpentig bagi Indonesia adalah dengan mempraktikkan prinsip memajukan kesejahteraan rakyat dan memperluas ruang kebebasan bagi warga masyarakat. Dari sini bisa kita katakan bahwa aparat dewasa ini haruslah memegang prinsip tersebut dalam memperlakukan warganya. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tetang prikemanusiaan dan prikeadilan. Dan bukan memperaktikkan unjuk kuasa, karena dengan begitu aparat melakukan kesengajaan untuk menghilangkan kemanusiaan itu sendiri.

 

Maka dari itu sebagai penutup, persoalan HAM di tahun-tahun sebelumnya negara sebagai garda terdepan harus segera menyelesaikannya, karena jika tidak, ini merupakan kecemasan kita semua di hari-hari yang akan datang terutama bagi kita yang selalu menyuarakan aspirasi kepada pemerintah. Karena kecemasan di masa yang akan datang, bisa saja saya dan teman-teman yang menjadi korban dari pelanggaran HAM.

 

 

Penulis,

Afnan Ferdiansyah

 

 

Referensi

Kumpulan Tulisan Hendardi tahun 1996-1997

Pemikiran Modern, F.Budi Hardiman

Munir dan Daftar Kasus HAM yang Belum Tuntas Sampai Hari Ini, CNN