Ilustrasi: absurd.design/illustrations.html |
Sejak dahulu sebuah tatanan masyarakat
sebelum adanya sistem kerajaan sudah mampu menghasilkan suatu rujukan sebagai
pandangan hidup mereka dalam menjalani aktifitas sebagai makhluk sosial, kita menyebutnya
dengan istilah tradisi. Hal ini merupakan salah satu ciri khas bagaimana mereka
dapat dikenal oleh masayarakat dari luar daerah mereka. Indonesia merupakan Negara majemuk yang
terdiri dari berbagai bahasa, agama, suku, ras, adat istiadat dan kebudayaan.
Perbedaan tersebut yang menjadi identitas suatu etnik masyarakat sangat perlu untuk kita jaga dan
pelihara keberadaannya, karena setiap kebudayaan terdapat nilai yang mengandung
pesan moral sebagai acuan bagaimana untuk menjalaani hidup sesuai dengan yang
di amanatkan melalui kebudayaan tersebut.
Di era digital ini banyak budaya asing yang
masuk dan tersebar ke seluruh daerah di Indonesia dan mempengaruhi gaya hidup
masyarakat yang berdampak pada kebudayaan lokal. Dinamika yang menyangkut
masalah kebudayaan itu tersebar dan dirasakan oleh secara luas, tak terkecuali dengan Bintauna. Oleh karena
itu, ada berapa soal yang diajukan, yaitu; permasalahan apa saja yang dihadapi masyarakat Bintauna
khususnya para pegiat literasi khususnya di bidang kebudayaan? Apakah dampak
yang dirasakan sekarang ini ketika kebudayaan bintauna sudah mulai terkikis
oleh kebudayaan luar?
Sekilas Tentang Bintauna
Bintauna adalah salah satu kecamatan yang
berada di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Sebelah Barat Bintauna berbatasan langsung dengan Kecamatan
Bolangitang Timur , bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Sangkub dan bagian selatan
berbatasan langsung dengan Kabupaten Blaang Mongondow Selatan. Saat ini
Kecamatan Bintauna terdiri dari 15 desa dan 1 kecamatan, yaitu; Minanga,
Bintauna Pantai, Kopi, Batuluntik, Bunia, Telaga, Voa’a, Huntuk, Pimpi, Vahuta,
Padang Induk, Padang Barat, Kuhanga, Mome, Bunong dan Kelurahan Bintauna.
Bintauna sekilas dalam jejak historis adalah
bekas daerah swapraja yang sejauh ini diketahui sudah berdiri sejak tahun 1675
dan dahulu saat masih berstatus kerajaan, Bintauna terdiri dari 3 daerah utama; Bintaoena,
Doloduo dan Huntuo Valura atau Baludawa.
Kerajaan Bintauna kemudian memutuskan untuk bersatu dengan Negara
Indosnesia sehingga beralih pada sistem pemerintahan pada tanggal 25 juli 1950
meskipun saat itu masyarakat kerajaan Bintauna merasa bimbang untuk berpendapat
akan hal itu, karena mereka menganggap raja merupakan penguasa tunggal sehingga
seluruh keputusan ada di tangan raja.
Mengurai Problem
Masa kerajaan menjadi awal dari peradaban
masyarakat Bintauna serta adat dan budaya, namun sangat disayangkan pranata
sosial sebagai simbol suatu daerah yang diwariskan para leluhur kepada kita
mulai mengalami pengkaburan dan di ambang kepunahan. Oleh karena itu, kebudayaan
seperti bahasa dan etika atau tata cara hidup masyarakat Bintauna saat ini
sangat perlu untuk dilestarikan sebagai identitas agar masyaraakat Bintauna
dapat dikenal sebagai kebudayaan yang khas.
Gempuran zaman, membuat fitur-fitur kebudayaan
seperti bahasa Bintauna, kini mulai pudar dan sudah jarang terdengar khsusunya sebagai komunikasi di kalangan pemuda Bintauna. Saat ini bahasa Bintauna hanya sering terdengar komunikasi antar masyarakat dewasa hingga paruh baya. Tentu
ini merupakan suatu fenomena pertanda
memudarnya budaya bahasa dalam kalangan masyarkat Bintauna terutama pemuda.
Nilai budaya atau Kultural values adalah nilai-nilai yang disepakati oleh semua
masyarakat atau suku di daerah dan menjadi acuan masyarakat bagaimana mereka
menjalani hidup. Pada hakekatnya nilai-nilai budaya akan
menjadi ide-ide tentang apa yang baik,benar, dan adil. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya inilah yang
harus dijaga yang kemudian menjadi tolak ukur bagaimana masyarakat menjalani
hidup.
Ada beberapa warisan di
daerah Bintauna, di antaranya; kolintango, motiayo, tatacara penjemputan tamu, upacara
kematian, pernikahan dan budaya leluhur lainnya yang diwariskan kepada masyarakat Bintauna.
Kulintango adalah alat musik pemberian dari kesultanan Ternate saat
paduka raja Patilima dilantik di Ternate sebagai pemimpin kerajaan Bintauna
yang ke-3 tahun 1783. Tak hanya kulintang, kesultanan Ternate juga
menghadiahkan Paduka Raja Patilima alat-alat kerajaan lainnya, seperti; tombak
(taparajo), payung kerajaan, dan keris (eleso).
Kulintango di Bintauna adalah saksi bisu peradaban dari masa kerajaan Bintauna hingga
awal abad ke-20. Alat musik ini terdiri dari: kulintango terdiri dari 6 buah alat musik yang terbuat dari tembaga
dan dimainkan dengan cara dipukul; savua
(tambur), berjumlah dua buah dan terbuat dari kayu yang dilubangi ̶̶ kedua
sisinya ditutup dengan kulit kambing yang dikeringkan; gong, berjumlah satu buah yang terbuat dari tembaga. Alat musik kulintango dimainkan untuk mengiringi tarian joke
(terdiri dari dua orang penari) dalam prosesi adat Bintauna. Namun tradisi
tersebut saat ini tidak bisa disaksikan oleh masyarakat karena yang bisa
memainkan alat musik kulintango masih terbatas. Minimnya minat masyarakat khususnya pemuda
terhadap kebudayaan menyebabkan fitur-fitur kebudayaan ini terancam punah.
Ada beberapa faktor yang memepengaruhi minat masyarakat terhadap budaya
lokal menjadi menurun, di antaranya yaitu; inovasi atau sesuatu yang baru diciptakan dalam bentuk
apapun, kemudian faktor modifikasi atau sebuah upaya peningkatan daya cipta
yang menuntut kreatifitas individu maupun kelompok masyarakat.
Faktor perubahan ini dimungkinkan karena berkembangnya hasil olah budi,
pemikiran, dan perilaku yang berulang-ulang, baik secara individu, maupun
secara komunal dan proses ini terjadi dalam kelompok mereka sendiri. Kemudian
adanya proses difusi atau penyebaran kebudayaan yang dapat terjadi karena
adanya pengaruh eksternal yang kemungkinan kedatangannya melalui pergaulan
dengan masyarakat dari luar daerah Bintauna sehingga besar kemungkinan jika
secara individu maupun dalam kelompok masyarakat akan terbawa arus budaya luar
secara invasi terhadap hal yang terkesan baru dan sesuai dengan selera
masyarakat yang ingin menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Inovasi dan difusi misalnya perubahan dalam hal perilaku dalam
kehidupan sehari-hari, kebiasaan pola konsumsi, dan dalam berpakaian, upacara
adat, hingga hal-hal yang lebih kompleks. Pengaruh budaya luar mengubah cara
hidup masyarakat hingga kebiasaan saat melaksanakan proses adat seperti
kulintang yang sering dimainkan saat diadakan acara kemasyarakatan untuk mengiringi
tarian joke, tetapi kini bahkan sudah tidak terlihat lagi dan digantikan dengan
iringan musik yang terkesan praktis untuk dimainkan.
Penutup
Dalam peradaban tentu menghasilkan suatu kemajuan yang disebabkan oleh
interaksi antar kelompok masyarakat yang membawa hal-hal baru seperti
perkembangan teknologi. Intensitas interaksi manusia antar kelompok masyarakat
sangat mempengaruhi kemajuan dan perubahan budaya.
Sebuah interaksi yang terdapat proses akulturasi memang baik untuk dilakukan dalam upaya meningkatkan moralitas di setiap individu maupun kelompok masyarakat, tetapi jangan sampai terlalu fanatik untuk menyikapi hal tersebut
demi menjaga budaya lokal agar tidak memudar. Memang ada sebagian masyarakat yang berfikir
bagaimana Bintauna kedepannya tanpa memikirkan bagaimana budaya Bintauna agar
tetap terjaga kedepannya, hal seperti ini pula menyebabkan kekaburan terhadap
budaya. Tentu ini merupakan tantangan dan sudah menjadi tugas kita bagaimana
cara untuk menangani masalah yang dihadapi dan nantinya bisa menumbuhkan
kesadaran terhadap mereka yang hedonis seperti yang dijelaskan di atas, bisa menjaga dan
melestarikan budaya sebagai identitas masyarakat Bintauna. Dengan cara mendirikan suatu kelompok yang
memperhatikan masalah budaya dengan serius dan berorientasi penuh terhadap pemberdayaan
SDM yang memumpuni dalam bidang kebudayaan, sehingga mampu mengembangkan budaya lokal dan
dapat menepis terdistorsinya buaya Bintauna dengan budaya asing yang masuk di daerah Bintauna.
Dapat kita ketahui bersama bahwa pada
prinsipnya adat dan budaya merupakan sekumpulan aturan yang formulasikan oleh
leluhur sehingganya kita sebagai masyarakat lokal harus menghormati dan
menghargai hal tersebut. Tanpa mengurangi rasa hormat, segala pendapat dan
saran pembaca dapat mengimbangi gagasan dalam tulisan ini tanpa menyinggung
pihak lain. Semoga dengan tulisan ini para pembaca khususnya masyarakat
Bintauna dapat memahami dinamika yang menyangkut identitas tanah adat ini,
kemudian bisa memulai aktifitas yang mengandung nilai dalam budaya lokal.
Penulis,
Alfan Laoh
Kader ISC, juga peserta di Kelas Menulis Sejarah dan Kebudayaan Bintauna, angkatan ke-1.