Ersad Mamonto
3/20/22, 3/20/2022 WIB
Last Updated 2023-02-01T23:25:29Z
Opini

Barat-Timur Bolmut: Residu Politik di Ruang Tersembunyi

Peta Bolmut. Sumber: petatematik.wordpress.com


Tahun politik di depan mata. Ruang-ruang publik Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) pun mulai diisi arus besar pembicaraan suksesi kepala eksekutif dan legislatif daerah. Terkesan agak terburu-buru memang. Namun, begitu wajah politik kita: Tak perlu membicarakan banyak hal substansial, sebab kekuasaan lebih menarik dari hal tersebut.

 

Jika memotret kontestasi itu ada banyak residu yang ditinggalkan dan tak pernah dipikir untuk dibersihkan. Hal itu berasal dari tiga kali Bolmut melaksanakan pemilihan kepala eksekutif dan legislatifnya. Di perhelatan tersebut residu  berserakan; tergambar jelas dari arah pembicaraan publik kini, kebijakan, idiom, dan atau “pembagian kue”.

 

Beberapa ruang yang paling remeh sekalipun,—seperti kemunculan idiom-idiom baru—menyirat makna dari bias politik pemilu. Di antara yang dimaksud adalah kemunculan istilah Barat Bolmut & Timur Bolmut. Terma ini bukan saja kesadaran tentang teritori, namun, adalah konsekuensi antropologis dari persaingan kultural. Sebab, sejatinya, idiom ini sarat akan wajah politik, kebudayaan, ekonomi dan tata kelola pemerintahan.  Secara jelasnya, saya tidak tahu kapan istilah ini muncul. Namun, sejauh ini saya mendengarnya pertama kali di tahun 2013, saat mendiskusikan Bolmut dengan beberapa politisi dan aktivis.

 

Opini tentang definisi Barat dan Timur Bolmut setidaknya merujuk kepada; yaitu, Barat Bolmut meliputi Pinogaluman, Kaidipang Bolangitang Barat, & Bolangitang Timur (Sebagian), sedangkan Timur meliputi: Bolangitang Timur (Sebagian), Bintauna dan Sangkub. Pemilahan ini sejauh yang bisa diduga (perlu penelitian mendalam) terkonstruksi lewat basis politik dari dua figur sentral pada perhelatan pilkada dalam  sepuluh tahun terakhir. Yaitu, Timur diwakili oleh Hamdan Datunsolang (HD) dan Barat diwakili Depri Pontoh (DP). Beberapa orang menyebut persaingan ini sebagai perang klasik.

 

Oposisi Biner

 

Jika kita membaca penelitian yang ada wajah seperti ini tampak dalam kehidupan sosial-politik perkotaan. Misalnya, Stevano Sumampouw (Menjadi Manado... 2018), menggambarkan dari sudut pandang antropologi guna melihat kondisi kota Manado yang terbagi menjadi dua: Manado Selatan dan Manado Utara. Keterpisahan tersebut diwakili melalui istilah sabla aer, yang kontras dengan slogan Torang Samua Basudara. Serupa dengan hal tersebut Bolmut mempunyai kondisi yang serupa namun tak sepenuhnya sama. Atau bahkan lebih luas lagi kondisi seperti ini juga tergambar dalam persaingan dua wajah dunia kini paska perang dunia yaitu Barat vs Timur.

 

Bolmut Barat-Bolmut Timur sebagai kondisi oposisi biner, di mana hal tersebut berkelut-kelindan menempatkan ada yang superior dan ada yang inferior, atau dalam beberap praktik kebijakan, ada yang mesti menjadi korban sebagai “anak tiri” (Istilah anak tiri saya temukan juga dalam beberapa diskusi lepas), yang menempatkannya sebagai the other.

 

Jika basis sosial-politik dalam karya Sumampouw (2018), pengkonstruksiannya berdasar pada penduduk asli dan penduduk pendatang, maka lain halnya dengan Bolmut, yang muncul karena konstruksi politik swapraja. Ditambah upaya politik kontemporer yang mensyaratkan afiliasi konstruksi tersebut sebagai acuan untuk meraup suara.

 

Hal ini begitu terasa, dalam satu dekade terakhir, yang menampilkan persaingan politik  Barat Bolmut  vs Timur Bolmut yang diwakili DP dan HD. Apalagi ini juga tergambar dalam protes-protes yang muncul pada porsi pembagian APBD. Kita masih akan dapat melihat basis kritik tersebut lebih banyak terasosiasi dengan konstruk Barat & Timur Bolmut ini. (Lihat: https://www.kordinat.id/2022/01/porsi-anggaran-untuk-enam-kecamatan-di-bolmut-2022-tak-merata/)

 

Akhirnya beberapa asbab ini melahirkan kondisi—tidak hanya dalam dunia politik sebagai pemicunya—di berbagai kehidupan masyarakat Bolmut pun terpecah menjadi dua kutub. Bahkan, dalam ruang-ruang tertutup mendiskusikan Bolmut sebagai amanat pemekaran untuk mensejahterahkan rakyat  luas, kadang, menjadi sesuatu yang kalah penting dibanding supremasi politik dari dua kutub ini.

 

Titik Temu


Perdebatan ini sebenarnya bukan tanpa jalan keluar. Setidaknya dalam kurun waktu terdahulu kita bisa menjadikannya pijakan untuk mencairkan suasana. Seperti kosa kata Binadow dianggap perlu untuk kembali digaungkan sebagai identitas pemersatu Bolmut. Pembentukan Binadow merupakan upaya mengkonsturksi kesepakatan-kesepakatan sebelum dan saat pemekaran. Namun, memang tat kala opsi Bolaang Mongondow Utara dipilih, permufakatan itu menjadi samar, sebab alasan yang paling kuat untuk otonomisasi (pemekaran) adalah identitas kultural, dan Binadow (sebagai genuine identitas kultural) sebenarnya menjadi alasan kuat pembentukan identitas pemersatu tersebut guna memekarkan diri. Jika beberapa orang menganggap nama bukan hal substansial, tapi sebenarya nama (Bahasa) adalah bentuk kesadaran komunal yang terwakili oleh istilah yang muncul, dan ini terafiliasi dengan konsep politik/ideologi tertentu.

 

Syahdan, menjadi teramat penting, dalam upaya pembentukan kembali kesatuan yang—sejauh ini—bisa dilacak terbentuk sekitar tahun 60’-70’-an untuk menyebut wilayah di pantai utara, Sulawesi Utara, sebagai Binadow. Selain hal tersebut, konsensus pemekaran juga mesti ditinjau kembali dalam setiap perhelatan politk praktis. Sebab, kecenderungan terbesar pemilahan Barat-Timur Bolmut muncul dari kontestasi perebutan kekuasaan.

 

Secara jujur, jika dalam beberapa dekade ke depan permasalahan ini tidak dipandang penting, maka kemungkinan terjadi penebalan identitas yang bisa digunakan untuk menciptakan konflik horisontal dan dapat menjadi mimpi buruk kelak. Kita tahu betul dalam studi konflik, pemicu konflik berkepanjangan yang melibatkan banyak kelompok, kerap ada campur tangan supremasi politik-ekonomi, yang tergambar dalam simpul berbagai jenis struktur relasi kuasa.


Penulis,

Ersyad Mamonto,

Rakyat Bolmut.